Cerita atau riwayat tentang kota “Amuntai” ini tidak begitu
jelas, karena kurangnya bahan-bahan tertulis. Hanya ada kabar yang tertua yang
tertulis dalam kitab “Negara Kertagama” (1365 M) hasil karya Empu Prapanca di
zaman kerajaan Majapahit. Pada kitab tersebut menyebutkan nama Barito, Sawuku
dan Tabalong. Justru yang dimaksud Prapanca tersebut adalah didaerah Kalimantan
Selatan ini.
Ketika Empu Jatmika dengan ekspedisinya berkapal
“Prabayaksa”, awal memasuki daerah “Kahuripan” yang disini sudah ada
penguasanya berkedudukan di “Palimbang Sari” (sekarang Desa Palimbangan), maka
Empu Jatmika membangun percandian “Candi Agung”. Empu Jatmika memproklamasikan
dirinya sebagai “Raja Sementara di Candi”, dan ia sekallgus memberikan nama
daerah itu “Negara Dipa”. Nama Negara Dipa berasall dari bahasa Sansekerta, yang
berarti “Negeri bercahaya terang benderang”.
Pusat kerajaan Negara Dipa dengan percandian ‘Candi Agung”
yang beraliran Hindu terletak tidak jauh dari tepian kali Tabalong, yaitu dekat
pertigaan sungai Tabalong, sungai Balangan dan sungai Negara. Tepatnya sekarang
di bantaran sungai kecil Pamintangan, disinilah areal Candi Agung. hal tersebut
terjadi pada abad XIV Masehi (14 M).
Kemudian, sejak kapan munculnya nama “Amuntai” atau
“Hamuntai”..???, ceritanya bersimpang siur. Menurut penuturan para orang tua
disekitar Candi Agung, bahwa nama “Amuntai” berasal dari penemuan banyaknya
buah-buah “Muntai” di tepian sungai sekitarnya, sehingga ia diberikan nama
untuk nama kota ini. Akan tetapi, sampai sekarang ini, orang belum dapat
mengetahui bagaimana wujud dari buah tersebut. Dan para Arkeolog berkemungkinan
bahwa buah tersebut telah punah.
Sementara itu, jika mengacu pada Surat Keputusan Sultan Adam
al-Wasyikbillah, tanggal 20 Rabiul Awwal 1263 (1843 M), mengenai hak apanage
keluarga Raja-raja Banjar, sudah disebutkan nama Kota Amuntai, Babirik, Sungai
Karias, Tanah Habang, Kusambi, Lampihong, Tabalong, Halabio, Bitin, Danau
Panggang, Paran dan Balangan.
Begitupun pada 21 Maret 1865, sewaktu Asisten Residen
K.W.Tiedtke memerintah daerah ini (termasuk Alai, Amandit, Tabalong dan Kelua)
ternyata kotanya telah bernama “Amuntai”.
Selanjutnya lagi M.Halaweijn, seorang pejabat tinggi Belanda
di Borneo, dalam laporannya yang berjudul “A Journey To Banua Lima in The Year
1825” (Laporan Perjalanan ke Banua Lima Tahun 1825) tercantum dalam
“Tijdschrift Voor Nederland Indie”, te Jaargang, vol.2 (1838), antara lain
menyebutkan bahwa perjalanannya naik perahu dari Marabahan (24 Nopember 1825)
menyusuri Sungai Negara, Sungai Banar, melihat perkampungan rakyat yang indah
di Amuntai, lalu terus ke Kelua....dan seterusnya.
Maka dari beberapa catatan diatas, yang tertua adalah
laporannya M.Halawijn (1825) bahwa disini kotanya sudah bernama Amuntai. Namun
masih ada satu petunjuk lain yang perlu kita cermati.
Sebuah buku karya Johannes Jacobus Rass yang berjudul
“Hikayat Banjar”, A Study in Malay Historiography” yang diterbitkan di
s’Gravenhage (Negeri Belanda) tahun 1968, menceritakan bahwa setelah huru-hara
Banjarmasin diserang dan diberondong tembakan meriam-meriam oleh VOC / Belanda
pada tahun 1606, dimana pahlawan-pahlawan Banjar berhasil membunuh semua awak
kapal Belanda itu, namun pada akhirnya pusat kerajaan Banjar di Kuin itu
terpaksa ditinggalkan dan mereka berevakuasi ke Kayu Tangi, Martapura.
Penguasa Sultan Musta’inullah sebelum berevakuasi ke Kayu
Tangi, ia sempat beradu pendapat dengan para bawahannnya mengenai alternatif,
kemana pusat pemerintah Kerajaan Banjar ini sebaiknya dipindakan.
Ada salah seorang petinggi kerajaan yang mengusulkan agar
kembali saja ke “Hamuntai” (di Negara Dipa) sebagai tanah leluhur mula jadinya
Empu Jatmika ini. Namun Sultan Musta’inullah tetap bersikukuh dengan pilihannya
dan mengatakan bahwa : “Kita Jangan Babulik Lagi Ka Hamuntai, Karana Aku dapat
Mimpi, Ada Tegoran dari Leluhur Kita Pangeran Surianata, Labih Baik Kita
Mambuka Nagari Hanyar di Sungai Mangapan (Tambangan)”. Arahan Sultan ini
disetujui oleh para pengikutnya, lalu membangun negeri baru tersebut. Namun
tidak lama di Mangapan, 10 tahun kemudian, pusat pemerintahan berpindah kembali
ke Kayu Tangi, Martapura.
Dari cuplikan buku JJ.Rass diatas (halaman 464) terdapat nama
“Hamuntai” yang tertulis sebagai direncanakan untuk pusat kerajaan sesudah Kuin
di Banjarmasin dan sebelum Kayu Tangi di Martapura. Peristiwa tersebut terjadi
pada tahun 1606, yaitu di tahun-tahun awal merajalelanya Imperialis /
Kolonialis VOC / Belanda di Kalimantan Selatan.
Sumber lain yang ditemukan dalam penelitian sejarah didaerah
ini, pada tahun-tahun pasca huru-hara Banjarmasin, ada diantara petugas VOC
yang datang keareal Candi Agung di Amuntai untuk meninjau daerah cikal-bakal
Empu Jatmika tersebut.
Masyarakat di sana sangat membanggakan Candi Agung kepada setiap tamu yang datang. Percandian
tersebut letaknya di “Mungkur” yang agak ketinggian, oleh mereka disebut
“Gunung”, Menjadi kebiasaan masyarakat disekitar menyebutnya “Gunung Candi”,
sehingga bagi orang yang ingin pergi ke lokasi itu, dikatakannya “Pergi Ke
Gunung”. Bagi orang Barat, istilah “Gunung” ini menunjukkan nama suatu areal
yang dimaksud, yaitu “Gunung Candi Agung” (A Mountain Candi Agung).
Masyarakat disana umumnya selalu suka meniru-niru istilah
asing, walaupun lidahnya tidak mampu mengucapkan secara sempurna. Kadang-kadang
juga pendengaran tidak sesuai dengan ucapan, sehingga istilah yang berasal dari
“A Mountain” itu menjelma menjadi “Amunten” dan berubah lagi menjadi “Amuntai”.
Pada akhirnya, jika bertolak dari huru-hara penyerangan VOC /
Belanda terhadap Banjarmasin pada tahun 1606, kemudian pada tahun 1615 Inggris
membuka Faktory (Kantor Dagang di Kayu Tangi), wajarlah jika para pedagang
Ingrris tersebut meninjau “Gunung Candi” di Amuntai, yang oleh masyarakat
disebutkannya “A Mountain” atau “Amuntai” hingga sekarang.
Nah.... Itu lah sejarah singkat kota AMUNTAI, yang mungkin
sebagian dari kita belum tahu asal-usul nya, Semoga artikel ini dapat
bermanfaat bagi kita semua,,, Amienn...
Ditulis Oleh : Yusni Antemas
Beberapa Foto Kondisi Kota Amuntai Sekarang :
sumber : hamidhan.blogspot.co.id/
Post a Comment